Senin, 05 November 2012

JIWA-JIWA DI ATAS SAJADAH CINTA

Aku menyerumu dengan sajak-sajak cinta,
tapi langitmu tak membiarkannya jadi gema

Cuaca berkesiur dengan selaksa sangkur
dan angin mengendap-endap di pokok-pokok pohon poplar
mengintai sekawanan imigran yang menganggur
seraya menyergap dengan tikaman-tikaman lapar

Orang ramai dalam pawai,
nama dan lambang cinta, kado berpita hati merah
Tapi di tepi sungai, di mana tertancap tanda batas,
perempuan Afro memungut roti remah

Aku menyapamu dengan sajak-sajak duka,
tapi kata-kataku menggumpal di udara

Di antara sebaki serpih daging cannar, sepoci teh hijau,
kaudenguskan lagi dengan benci kata-kata suci Mao

di mana Tuhan menyimpan cinta

gerimis turun semalam
basahi pembaringan sang perempuan
ada sorga kulihat di bening matanya
namun tak kutemukan dalil dalam ayat

di mana tuhan menyimpan cinta?

biarlah rindu menjemput bayangku
membawa terbang ke hadapanmu
: aku tak kekal dan pula tak kenal
tapi biarlah namaku terukir di dinding hati
tuk sementara, atau selamanya
aku hanyalah sebuah bayang
: aku tak kekal dan pula tak kenal

Mata betinaku, aku perlahan karam ke kelung palungmu
di atas tebing-tebing batu kulupakan jalan keras berliku
Arusmu mengalir tenang, aku terenggut hanyut
di dunia ambang kurengkuh maut, demi hidup berdenyut

aku jadi tertawa
mungkin sedikit terluka, ataukah justru lega
aku ingin bilang keparat
tapi lidah ini terlanjur sekarat
aku berharap tertidur lelap
walau harus berkelambu senyap
aku seakan kehilangan tujuan
yang dulu selalu kau agungkan
namun aku adalah jiwa yang bebas
bagai unggas yang terlepas

telah kutulis jejak-jejak kita yang mulai terhapus
pada trotoar dan lampu-lampu di sepanjang Münchenerstrasse
juga pada hutan, taman, dan rel kereta di seberang kampus
yang pernah kita lalui berbilang kemarin

tak lupa kutinggalkan sepotong pesan
di atas sajadah, tempat kita biasa
melepas cerita tentang kemurahan dunia
pada hidup yang terus tergopoh

mungkin aku yang terlalu lama bermimpi
atau waktu untuk kita yang hanya sesaat
lalu pada siapa ku harus mengeluh
sedang bayangmu semakin menjauh, pergi

ini jiwa siapa?
yang terperangkap dalam samudera waktu
tenggelam dalam airmata haru
saat genderang hidup mulai ditabuh

hujan di luar sana semakin deras bernyanyi
tak ingin kubayangkan, saat kau ikrarkan janji itu padanya
dalam kesunyian yang tiada terhenti
seperti sunyi di hatiku yang tak juga mereda

ini jiwa siapa?
yang terkurung dalam ikatan sia-sia

Tudung yang menjuntai di lehermu, Gadis,
seolah gairah yang tak kunjung pagi
Barangkali, aku tak pasti,
kausebut Tuhan dengan depus nadi,
di bawah tebaran serbuk polusi,
melewati pohon-pohon yang menahan kelu di bulan itu,
kaukayuh usia yang kian aus menuju entah
ketika seekor bangau termangu di kerpus, menunggu remah

Barangkali maut acap bertandang ke kediaman Feurbach, bermalam-malam
mengendus kenangan yang sempat kaucatat, buku-buku buram,
sisa nikotin di pipa stigi, gaung batuk di ampas kopi,

di taman ini
aku sering melihatmu
di antara ribuan willow
yang menjulur ke danau
mungkin itulah mengapa
aku suka pulang ke taman ini
karena seperti merasa
dahulu kala, sebelum dilahirkan
kita sama-sama tinggal di sini
bersama danau, itik, dan angsa
daun, bunga, dan rahasia

jauh sebelum diam
terjatuh ke dalam kata.


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar